Monday, October 29, 2007

Mencari “Feel Good” di Cipelang

Saya sudah melengkapi catatan perjalanan saya selama masa libur Lebaran tempo hari. Sebenarnya, catatan perjalanan ini nggak wajib untuk saya buat, tapi saya kadung janji dengan seorang teman untuk membuatnya untuk dibawa ke forum diskusi mereka. ya, semoga saja benar berguna. Ngomong-ngomong, karena malas membuatnya secara berseri, jadi, saya buat satu postingan baru superpanjang di ruang ini.

Pacaran dengan alam rupanya bukan hal yang mudah. Saya sudah lupa kapan kali terakhir saya kemping, sampai akhirnya saya ikut mendaftar sebagai peserta acara kemping akbar gelaran KKMK KAJ, tanggal 12-15 Oktober lalu, tanpa dihasut siapapun. Inilah catatan perjalanan saya.

Apa motivasi saya ikutan kemping? Bukan sekadar mau menghibur paru-paru dengan keluar dari serbuan asap polusi kota Jakarta dan melihat kabut, saya juga mau mencari tempat sepi untuk bengong. Ternyata saya salah, di sana saya nggak punya waktu (dan nggak berani) untuk bengong!

Ya, sebenarnya, saya tertarik untuk ikut acara ini untuk menambah kenalan juga. Rutinitas kerja yang membosankan—plus koleksi teman yang sepertinya itu-itu saja—membuat saya merasa wajib untuk masuk ke komunitas baru.

Berdua dengan seorang kawan, saya berangkat ke Katedral, meeting point sebelum menuju Cipelang, Sukabumi, Jumat (12/10) lalu. Aseli, godaannya besar sekali untuk nggak ikut acara itu. Saya sudah merelakan uang saya hangus demi tambahan beberapa jam tidur, ditambah lagi hari sebelumnya saya sudah beli setumpuk film untuk ditonton kala liburan. Tapi (untungnya) teman saya sayang duit. "Udahlah Jeng, 350 ribu geto loh! Ikutan aja dulu. Nanti kalau acaranya nggak asyik, kita balik aja duluan."

Deal!

Hari Pertama: Belum Oke

Naik taksi, perjalanan dari Ciputat ke Katedral hanya makan waktu 1 jam. Keren ya! Lebaran memang surga bagi para pengguna jalan raya Jakarta. Tiba di Katedral, mood kemping saya belum bangkit.

Kira-kira pukul 9.00, rombongan peserta dan panitia berangkat dari Katedral. Ada 5 tronton yang berangkat ke sana. Sebenarnya, tronton yang saya tumpangi nggak sepi-sepi amat. Ada 2 orang yang asyik berdebat tentang topik-topik yang, sejujurnya, bikin telinga saya capek—tentang poligami dan pernikahan beda agama. Sigh...

Kami tiba di lokasi sekitar pukul 13.00. Perjalanan lumayan lancar, cuma beberapa titik (lokasi pasar) yang mengalami kemacetan.

Hari pertama bisa dibilang belum menghibur saya. Pesertanya kalem-kalem, sedang saya nggak sedang dalam chatty mood.

Seperti layaknya acara massal, setiba di lokasi kemping, peserta kemping diminta untuk berkumpul berdasarkan kelompok. Saya masuk ke kelompok “Awan”. Di sini, saya bertemu dengan Rina yang cheerful, Ika yang manis dan halus banget tutur katanya (yang bikin saya agak enggan ber-elu-gue dengannya), Andreas yang terkesan jauh lebih tua dari umurnya, Andrew yang (kata beberapa orang) keren dan sering dirubung cewek-cewek, dan Yanti yang pendiam.

Tiap kelompok diminta untuk membuat yel-yel. Setelah itu, tiba saatnya mandi dan istirahat, sebelum ibadah misa pembukaan. Psst, menurut saya, MCK di sana nggak memenuhi persyaratan dasar sebagai MCK yang sehat. Tapi, please deh Jeng, ini kemping gitu loh. Jadi, saya—dan saya yakin peserta yang lain pun sama—nggak boleh, dan berusaha untuk nggak mengeluh.

Misa pembukaan dipimpin oleh Romo Dwiyaminarta, CSsR, dari Paroki Leo Agung, Jatibening, Bekasi. Malam hari, panitia menyiapkan beberapa games dan seminar motivasi. Yang jadi pembicara adalah Gim Hok dari Phoenix Motivation. Ya, sebenarnya seminarnya cukup menarik, tapi sayang, saya ngantuk berat. Pikiran saya malah melayang ke rumah, ke kamar saya yang hangat, ke tumpukan film yang sudah saya beli.

Hujan deras mengguyur bumi perkemahan. Tenda yang saya pilih, yang dekat dengan tenda acara, bocor. Buat orang yang pengin benar-benar berlibur seperti saya, rasanya kok ini seperti cobaan yang berat banget ya. Untung sleeping bag saya nggak basah. Saya juga kebagian daerah yang miring untuk tidur—kalah bersaing untuk mnendapat best spot to sleep.

Malam pertama di Cipelang, saya membuat rencana dengan kawan saya. Kami pulang hari berikutnya, sore hari setelah hiking. Kalau kondisi nggak memungkinkan—bisa saja karena kami malas, atau mungkin kelelahan sehabis hiking—perjalanan pulang kami tunda hingga Minggu pagi.

Di hari pertama, saya... payah banget. Saya masih sok membandingkan suasana serba nyaman di Jakarta dengan di Cipelang—yang jelas jauh beda!

Hari Kedua: My Sweat of Joy

Saya hampir nggak pernah punya masalah susah tidur. Jadi, untuk saya, tanah miring yang jadi alas tidur saya selama kemping bukan masalah.

Pagi pertama di Cipelang, saya sempat sebal dengan cara panitia membangunkan para peserta. Dalam hati, saya sempat mikir, mereka pasti sudah sinting. Hari libur gini, mereka bikin jadwal bangun pagi pukul 05.00!

Tapi setelah sadar, saya jadi maklum. Pagi itu, kami akan hiking ke air terjun Cipelang. Sampai hari kedua ini, saya salut dengan ketepatan jadwal panitia. Setelah mandi dan sarapan, kira-kira pukul 08.00 (lewat sedikit, itu juga kalau nggak salah ingat), kami berangkat menuju air terjun, per kelompok.

Semangat, semangat, saya semangat nih. Sudah lama saya nggak lihat air terjun. Jadi, menurut saya, inilah puncak acara dari kemping akbar ini—melihat air terjun. Rasanya beda dengan menginjak pasir dan melihat deburan ombak di pantai, atau mendaki anak-anak tangga untuk menggapai puncak Candi Prambanan yang tinggi. Dan yang pasti, rasanya jauh beda dengan jalan-jalan di mal! Butuh usaha yang lebih besar untuk bisa melihat pemandangan air terjun, untuk merasakan airnya yang sedingin es.

Menapaki jalan setapak penuh batu berlumut yang licin, sesekali langkah terhenti mendengar pekik teman yang digigit pacet, ternyata lumayan berat. Untung selama kemping saya nggak pernah lupa luluran Soffel, merek kompetitor Autan yang jadi andalan buat mencegah lirikan pacet.

Dari lokasi kemping ke air terjun, pulang pergi, kira-kira 3,5 kilometer jarak kami tempuh. Sepanjang perjalanan, ada beberapa pos yang kami lewati. Di sana, sudah ada panitia yang siap dengan berbagai games ringan.

Buat saya yang sudah lama nggak berolahraga, perjalanan ke air terjun ini sudah cukup untuk bikin saya ngos-ngosan. Sepertinya bukan saya saja yang kesusahan karena saya sempat mendengar seorang kawan nyeletuk, “Boo, ada tanjakan lagi! Air terjunnya harus bener-bener bagus nih!"

Hahaha!

Pernah dengar istilah keringat kebahagiaan, alias sweat of joy? Hihi, istilah itu saya kenal dari seorang sahabat. Tiba di air terjun, keringat dingin netes di muka dan badan saya. Saya pikir, ini nih keringat kebahagiaan saya. Keringat ini rasanya lebih nyenengin daripada keringat yang saya dapat setelah sukses berlari ngitarin 5 putaran stadion Senayan—itu dulu sekali, waktu saya masih rajin jogging.

Pemandangan air terjunnya bagus banget! Cukup lama kami di sana, cipak-cipuk main air dan foto-fotoan, sampai akhirnya tiba saat kami harsu kembali ke camp.

Saya kira, turunan bakal lebih ringan ketimbang tanjakan. Ternyata saya salah! Perjalanan turun justru banyak tantangannya, apalagi lewat jalan yang penuh batu berlumut. Saya sempat heran (banget) sewaktu berpapasan dengan seorang ibu yang hendak menuju lokasi air terjun. Ia menggendong anak balitanya. Duh, si ibu keren banget deh. Saya bawa badan sendiri saja kesusahan. Nggak terbayang bagaimana repotnya ibu itu.

Tiba di lokasi kemping, rasanya lega sekali. Selesai bersih-bersih, saat makan siang, saya turun ke lokasi penduduk—mampir ke warung, beli jagung bakar, sambil nanya-nanya trayek angkutan umum menuju Jakarta ke pemilik salah satu warung. Hari kedua ini, saya positif, esok harinya, Minggu (14/10), saya dan kawan saya bakal pulang ke rumah. Sebenarnya, alasan pulangnya bukan 100 persen karena saya nggak betah di lokasi kemping. Saya juga kepikiran pekerjaan. Pekan depan jadwal deadline saya. Berhubung beberapa kawan saya ber-Lebaran, saya harus yakin bisa backing mereka. Saya nggak mau kecapekan karena kemping 4 hari. Psst, saya baru ngeh kalau kemping ini digelar 4 hari, beberapa hari sebelum keberangkatan.

Kembali ke lokasi kemping, acara berikutnya adalah presentasi tentang lingkungan hidup. Sekarang, giliran Bintang Nugroho dari Pepulih yang jadi pembicara. Terus terang, saya suka dengan presentasi ini. Ya, paling nggak materinya bisa bikin saya lebih menghargai bumi.

Malam di hari kedua ini, ada satu acara yang pengin banget saya hindari. Acara night tracking. Alasannya nggak mutu: karena saya takut jalan-jalan di hutan gelap. Pengin pura-pura sakit, tapi itu kok ya bukan gaya saya. Yawis, saya ikut acara ini.

Sebelum night tracking, ritual “mandi Autan” dimulai. Sekarang, hampir semua peserta luluran Autan. Nggak nyangka, saya menikmati night tracking ini. Saya bisa lihat kunang-kunang, saya bisa lihat getah pohon yang nyala seperti fosfor—pemandangan-pemandangan yang bisa bikin saya berdecak kagum!

Ada beberapa pos yang harus dilewati. Di setiap pos, kami diberi tugas—nggak berat kok, cuma games kecil. Inti dari keseluruhan permainan: kami belajar untuk sabar, mau bekerja sama, dan saling percaya antaranggota tim.

Di hari kedua, saya... lelah banget. Tapi di luar dugaan, saya senang sekali!

Hari Ketiga: Pulang, Nggak, Pulang, …

Di hari ketiga kemping (14/10), digelar misa Minggu pagi. Tadinya, masih tetap dengan rencana hari kemarin, saya dan kawan pulang ke Jakarta, setelah misa. Tapi, rasanya kok agak berat. “Kita tunggu setelah makan siang aja deh, Jeng. Agak sore juga gapapa, kan?” Oke deh, toh saya sudah ngerti jalur angkutannya.

Siang, setelah makan pagi, sesi “Mature in Nature” yang dibawakan Romo Dwi dimulai. Ya, terus terang, saya nggak konsen mendengarkan kontennya—masih bingung antara pulang atau nggak. Yang saya ingat, ada satu peserta yang pengin berdebat, tapi agak ngelantur, dengan Romo perihal topik yang disampaikan oleh beliau. Capek deh

Then again, here came the ice breaking games. Saya nggak bisa nyanyi, saya nggak suka menari, tapi saya suka games kelompok. Awalnya memang terasa konyol, tapi bukannya memang itu inti dari acara macam ini—untuk senang-senang, nggak perlu ja’im? Meski hadiahnya cuma sedotan, tapi rasanya senang.

Coba saya lihat rundown acara di buklet kemping. Ouw, acara berikutnya perkenalan organisasi KKMK oleh Irene. Saya baru tahu, ternyata KKMK itu hampir setua saya, padahal saya baru tahu namanya kira-kira setahun yang lalu.

Oke, saya nggak ingat semua permainan yang digelar dalam acara ini. Tapi satu yang saya ingat pasti—yang saya yakin adalah puncak dari semua games berhadiah sedotan—yaitu permainan “Tower of Dreams”. Nah, satu yang bikin saya enggan untuk pulang hari ini adalah: games-nya banyak banget! Dan yang menyenangkan, panitia ngadain beberapa games sekaligus secara random. Jadi, sembari beberapa orang dari tiap tim membuat “menara mimpinya”, beberapa anggota lainnya bisa lari ke sana ke mari untuk berburu tambahan sedotan dalam ragam games yang digelar.

Oiya, waktu membangun menara, kelompok “Awan” mendapat bantuan dari satu teman baru, yang sepertinya teman panitia. Kalau saya nggak salah dengar, namanya Andri.

Tower of dream kelompok “Awan” jelas bukan impian. Bentuknya nggak karuan lantaran sudah melalui beberapa tahap renovasi. Ya, harap maklum, para arsiteknya kelelahan mencari tambahan sedotan.

Pulang, nggak, pulang, nggak… Saya masih bingung. Sebenarnya, saya sudah cuek dengan urusan pekerjaan dan deadline saya. Yang jadi masalah sekarang, saya kehabisan pakaian bersih. Yang saya punya cuma kaos hijau ngejreng dari panitia yang seharusnya dipakai di hari berikutnya.

“Kita pulang malem aja ya, Jeng. Abis api unggun?” kata teman saya. Saya tahu, dia agak berat ninggalin kelompoknya, dan (pastinya) satu cewek gebetannya. Hahaha.

“Yang bener aja? Kalau gitu sih, mending sekalian besok aja bareng rombongan…”, kata saya, masih sambil mikir antara ya dan tidak.

“Ya udah. Kalau gitu, besok aja sekalian ya…” Loh, teman saya kira saya serius. Ya sudahlah. Saya nggak masalah pakai pakaian yang sama, malam ini dan besok. Untung daerah Cipelang sejuk, sweat of joy saya nggak berbau. Tapi saya agak malu juga sih. Pasalnya, saya sudah pamitan dengan teman-teman saya. Dan (sialnya) mereka ingat dan beberapa kali bertanya, “Loh, bukannya lo mau pulang, Jeng?” Sigh...

Sorenya, tiap kelompok diminta untuk membuat drama singkat untuk dipentaskan saat acara api unggun. Sayangnya, hanya beberapa kelompok yang kebagian jatah tampil. Cuacanya lagi nggak oke. Hujan bikin acara jadi tertunda. Pun acara api unggunnya terlalu malam. Hehe, saya sendiri sudah kelelahan dan hilang ketertarikan terhadap acara ini. Penginnya masuk tenda, lalu tidur. Sepertinya banyak juga peserta lain yang seperti saya.

Saya masuk tenda pukul 02.00. Beberapa teman masih asyik di sekitar api unggun, dan panitia masih asyik rapat melingkar sambil berdiri—mbuh ngomongin apa. Saya pikir malam itu mereka bakal unjuk identitas ke peserta kemping, tapi ternyata sesi itu diundur hingga hari berikutnya.

Di hari ketiga, saya… nggak jadi pulang. Saya senang, saya capek, saya ketemu “feel good”.

Hari Terakhir: Pisah dengan Kabut dan Air Dingin

Sigh, hari terakhir di Cipelang, Senin (15/10) tiba juga. Saya bangun siang, juga begitu dengan teman-teman yang lain. Acara pertama pagi itu adalah perkenalan dengan Sampoerna Foundation. Siapa yang pengin beramal dan punya anak asuh pasti nggak menyesal menghadiri sesi ini.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan ibadah misa penutupan dan perkenalan diri panitia. Sebenarnya, saya agak takjub setelah ikut kemping ini, dan setelah mendengarkan perkenalan dari setiap peserta dan panitia. Ternyata, ada banyak sekali jomblo Katolik di Jakarta ya! :P

Games terakhir, “Estafet (tepung) Cinta”, yang katanya bakal jadi ajang “balas dendam” peserta ke panitia lumayan seru. Sayangnya, kurang berat untuk panitia. Saya pikir, sesi ini bakal diisi dengan games arahan para peserta. Yang jadi pelakunya ya panitia. Tapi ternyata nggak begitu. Belepotan tepung nggak jadi alasan untuk nggak bergaya di depan jepretan kamera. Sayang, sampai saat ini, saya belum dapat satu fotopun dari acara ini.

Sama seperti hari sebelumnya, jadwal hari terakhir ini pun agak ngaret. Di jadwal, seharusnya rombongan kami sudah meninggalkan Cipelang pukul 15.30. Tapi ternyata, kami baru meninggalkan lokasi kira-kira pukul 18.30. Katanya sih, ada satu tronton yang telat tiba di lokasi. Akibatnya, kami baru tiba di Katedral pukul 22.00. Yah, itu pun karena perjalanannya lumayan macet.

Ada perbedaan mencolok antara perjalanan keberangkatan dan perjalanan pulang ini. Suasana perjalanan ke Cipelang nggak secair suasana pulang menuju Jakarta. Ternyata susah-senang bersama selama 4 hari 3 malam bisa membuat kami, para peserta, merasa dekat. Semoga ini bisa jadi pertemanan yang panjang umur.

Selamat tinggal Cipelang. Sampai jumpa kabut, embun, dan air dingin. Lain kali menjengukmu, saya pasti berbekal obat oles anti-nyamuk, anti-pacet.

Saya berangkat setengah hati ke Cipelang, pun kembali ke Jakarta dengan setengah hati—berat untuk meninggalkan Cipelang.

No comments: