Sunday, January 27, 2008

Rest in Peace, Pak Harto

Pak Harto tutup usia. Berita itu jadi headline di stasiun TV, tadi sore, dan saya yakin bakal jadi liputan utama di beragam media sampai satu pekan ke depan.

Saya lagi asyik mengerutkan kening di depan notebook putih saya—memandangi dokumen yang saya harap bisa saya sulap jadi uang jajan tambahan bulan ini—waktu adik bungsu saya masuk ke kamar saya dan memberi kabar perihal mangkatnya beliau. Alih-alih menyalakan TV, saya malah melontarkan komentar tolol, “Kok bisa?”

Saya kira adik saya bercanda. Bosan di depan notebook, saya turun ke bawah. Keluarga saya lagi asyik mantengin TV. Adik bungsu saya lagi sibuk mencari bendera, mau ikut berkabung atas kepergian beliau. Begini komentar tololnya, “Cuy, kita berkabung nih. Gue pasang bendera seperempat tiang aja, boleh nggak sih?”

Lagi asyik nonton liputan seputar kematian Pak Harto, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Dari teman baik saya. Bunyinya, “Huahahaha, TUHAN bermurah hati. Harto di gameover.”

Hidih, nyebelin banget. Saya balas, “Kasian ah. Gue nggak tega tuh ngomong begitu.” Dibalasnya pesan singkat saya, “Emang dia kakek lo? Najis deh gue mah!” Saya bales lagi, “Ah, tetep aja kasian.” Saya tau, kalau saya lagi berhadapan dengan kawan saya, pasti obrolan kami nggak ada habisnya, yang satu mencaci Pak Harto, yang satu lagi—saya—membelanya.

Akhir tahun lalu, Mama Loren pernah bikin ramalan. Katanya, tahun ini ada seorang besar yang bakal tutup usia. Beliau orang yang kuat, disegani, ditakuti, namun juga disayang. Seperti pengin mengingatkan tentang ramalan tersebut, salah satu stasiun TV sempat memajang wajah Mama Loren sebentar di layar TV.

Saya memang nggak mengenal Pak Harto secara personal, tapi saya tetap menganggap beliau orang yang berjasa bagi Indonesia. Namanya juga manusia normal, ya wajar saja kalau dia punya dosa. Iyaiya, saya sepertinya masuk dalam kubu yang pro Soeharto. Bukan karena saya nggak peduli dengan nasib orang-orang yang jadi korban rezim orde baru, tapi lebih karena saya kebanyakan merasakan enaknya jaman pemerintahan beliau. Mohon maaf, saya memang masih muda sekali waktu beliau menjabat sebagai penguasa--bukannya saya nggak punya empati terhadap orang-orang yang diperlakukan nggak adil.

Pantaskah Pak Harto dijuluki Bapak Pembangunan? Menurut saya, pantas saja. Biar bagaimanapun juga, selama 32 tahun pemerintahannya, beliau sudah banyak melakukan pembangunan di banyak titik—meski juga dengan pengrusakan di titik-titik lainnya.

Saya nggak mau ikutan jadi orang ge’er yang sok memberi kata maaf untuk Pak Harto. Beliau nggak punya salah apapun terhadap saya. Saya nggak mau ikutan jadi orang yang sok ikut-ikutan menghujat beliau karena kejahatan di masa jayanya. Saya nggak pernah merasa dirugikan oleh beliau. Tapi saya—tolong dicatat, saya manusia normal—kok sebal banget sama anak-anaknya yang tajir abis yaaa, yang sepertinya tutup mata dengan kesulitan bangsanya yang sebagian mencurahkan darah, keringat, air mata, dan uangnya untuk membayar tarif tol yang mahal (banget), untuk senyum dan nikmat yang mereka rasakan.

Ngomong-ngomong, nggak lama setelah mendengar berita kematian Pak Harto, saya juga dapat kabar kalau Mbah Liyas, dulu pernah jadi tetangga depan rumah, juga tutup usia karena sakit dan memang sudah sepuh. Waktu kematiannya kurang lebih sama dengan jam mangkat Pak Harto. Wah, jangan-jangan mereka papasan di jalan ya?

FYI, suami Mbah Liyas, almarhum, dulu waktu saya masih kecil sering saya panggil Mbah Kakung, suka mengajari saya menggambar binatang dan menulis angka. Berkat Mbah Kakung ini saya bisa menggambar bebek cantik hanya dengan mulai bikin coretan angka 2.

Sigh, kenapa kebanyakan orang yang panjang umur, matinya susah ya, pakai terbaring sakit tanpa daya dulu? Kalau boleh memilih, saya sih mau hidup tenang dan enak, sukses lahir batin, berumur panjang, sehat, awet muda, dan mati tiba-tiba dalam tidur tanpa perlu merasakan sakit. Yang begitu pasti nikmat ya…

Rest in peace, Pak Harto. Rest in peace, Mbah Liyas.

Untuk Pak Harto, mungkin banyak orang yang pernah disakitinya bikin plesetan dari kepanjangan RIP, dari "rest in peace" jadi "rest in pain" ya. Saya sih setuju dengan komentar Surya Paloh saat diwawancara oleh stasiun TV-nya sendiri. "Daripada membuang energi meributkan pro dan kontra beliau (Pak Harto), lebih baik kita berpikir untuk memajukan bangsa kita." Kalau boleh, saya mau menambahkan komentar Pak Paloh, "Jangan lupa, stop global warming!"

1 comment:

bayus said...

selamat jalan ya, pak harto. semoga semuanya baik-baik saja pas ketemu pak karno di sana..