Gambar: medscape.com |
Hari
itu, hari pertama saya masuk sekolah sebagai murid SMU. Di
tengah-tengah pelajaran, seorang murid masuk ke kelas. Dia datang
terlambat, ditemani oleh ibunya. Guru kelas kami memperkenalkan anak
itu di depan kelas. “Anak-anak, perkenalkan. Ini Edo, teman sekelas
kalian.”
Saya,
sama seperti teman-teman sekelas, memperhatikan Edo dengan seksama.
Edo menggunakan alat bantu: tongkat dan sepasang sepatu khusus.
Pembawaannya tidak seperti anak normal lainnya. Dia berbeda. Waktu
itu, saya belum tahu apa yang membuat dia jadi berbeda.
Ada
yang menyebut orang-orang seperti Edo, “cacat”. Ada pula yang
menyebut mereka, “idiot”. Jahat ya... Saya nggak suka dengan
sebutan itu, karena buktinya Edo bisa masuk ke sekolah yang sama
dengan saya dan teman-teman saya yang “normal”.
Pada
akhir semester pertama, Edo pamit. Mau ke Amerika untuk berlibur
bersama keluarganya, katanya. Setelah libur akhir semester berakhir,
dia kembali masuk sekolah. Dia membawa oleh-oleh untuk teman-teman
sekelas. Saya mendapatkan sebuah emblem bergambar Apollo 11.
“Wah,
Edo keren! Kamu main ke NASA, ya!” kata saya waktu itu. Hihihi.
Dulu,
emblem itu saya simpan dan sayang-sayang. Emblem itu suvenir pertama
yang saya dapat dari teman yang pergi ke luar negeri. Tapi, sekarang
emblemnya sudah hilang. Sepertinya benda itu ikut hilang bersama
komik-komik lama saya ketika keluarga saya pindahan rumah.
Sepulang
dari Amerika, Edo masih sempat belajar bersama kami di sekolah.
Tetapi, hanya sebentar. Suatu hari, dia—ditemani lagi oleh sang
ibu—berpamitan. Mau pindah sekolah, katanya.
Guru
kami bilang, “Edo tidak cocok belajar di sekolah kita. Dia
membutuhkan sekolah khusus.”
Hanya
itu yang saya ingat tentang Edo. Ingatan itu kembali setelah saya
berkunjung ke Kitty Centre, sekolah khusus penyandang cerebral palsy
(CP). Lokasinya di daerah Cinere, Lebak Bulus.
Cerebral
palsy. Rupanya itu yang membuat Edo berbeda dari saya dan
teman-temannya.
Setiap
kali menginjakkan kaki ke Kitty Centre, sejak bulan Mei hingga
September, saya selalu disambut suara riuh anak-anak. Ada yang
menangis, ada yang berteriak-teriak, ada yang bernyanyi bersama
teman, guru, orangtua, dan pengasuhnya. Suasan di sana memang tak
pernah sepi.
Di
sana, saya berkenalan dengan Ibu Sinto Rustini, seorang fisioterapis
sekaligus pendiri sekolah itu. Dari beliau, saya mendapatkan banyak
informasi mengenai CP. Dari kunjungan itu, saya jadi tahu bahwa
tongkat yang digunakan oleh Edo bernama tongkat Canadian. Sepatu
khusus yang dipakai Edo bernama AFO, singkatan dari ankle foot
orthosis.
Saya
rasa masih banyak orang yang tidak tahu tentang CP, terutama
orang-orang yang awam dengan istilah kesehatan. Orang-orang seperti
saya.
Selama
5 bulan bolak-balik ke Kitty Centre, saya banyak belajar mengenai CP.
Hal ini bahkan sempat membuat saya takut untuk memiliki anak.
Padahal, saya belum punya rencana untuk menikah, apalagi punya anak.
:D
Pasti
mengerikan kalau anak dengan CP. Yang saya bayangkan tentu saja bukan
cuma kerepotan orangtuanya, tetapi juga masa depan sang anak.
Singkat
cerita, CP adalah kerusakan susunan syaraf pusat yang terjadi pada
masa pertumbuhan. Penyebabnya
bisa terjadi selama proses kehamilan, dalam proses kelahiran, ataupun
pascakelahiran.
Saat
proses kehamilan, CP bisa terjadi karena janin terinfeksi oleh virus.
Contohnya, virus Toxoplasma dan virus Herpes. Faktor kekurangan gizi
dan konsumsi obat-obatan oleh ibu ketika hamil juga bisa memicu
terjadinya CP ketika bayi dalam kandungan. Karena itulah,
merencanakan kehamilan jadi hal yang amat penting bagi para calon
orangtua.
Saya
juga baru tahu bahwa proses persalinan yang lama dan sulit, atau
persalinan menggunakan alat seperti vacuum,
bisa
memicu terjadinya CP. Bayi-bayi yang
lahir prematur, berbobot kurang dari 2,5 kilogram, berwarna kuning,
atau lahir tidak menangis pun berisiko tinggi menyandang CP.
Kalaupun
bayi terlahir sehat, orangtua harus tetap siaga menjaganya selama
masa pertumbuhan atau balita. CP juga dapat terjadi jika bayi pernah
mengalami demam tinggi dan kejang-kejang. Bagaimana saya nggak stress
mendapat informasi seperti itu?
Ah,
betapa memiliki anak yang sehat itu anugerah yang luar biasa, ya...
Saya
hanya berharap, semoga anak-anak seperti Edo bisa menemukan latihan
dan terapi yang baik, sehingga mereka bisa mengurangi ketergantungan
mereka pada orang lain ketika mereka dewasa nanti. Doa saya juga bagi
para orangtua anak penyandang CP, agar mereka selalu sabar dan
pantang putus asa.
Oiya,
satu lagi informasi menarik menarik mengenai CP. Dari sisi
kecerdasan, sebanyak 30% penyandang CP memiliki tingkat intelejensi
yang sama dengan orang biasa. Sementara 70% sisanya memiliki
intelejensi rendah, atau istilahnya, mengalami retardasi mental.
Di
Kitty Centre, misalnya, saya bertemu dengan seorang penyandang CP,
mahasiswi jurusan Antropologi, semester 4, yang kuliah di UI.
Kira-kira bagaimana kabar Edo sekarang, ya?
Kira-kira bagaimana kabar Edo sekarang, ya?
No comments:
Post a Comment