Gambar: amazonaws.com |
“And life goes on, which seems kind of strange and cruel when you're watching someone die.” ― Melina Marchetta, on the Jellicoe Road
Siang ini saya membaca status seorang kawan di Facebook, tentang kehilangan seorang temannya.
Kemarin, seorang kawan berduka karena ada anggota keluarganya yang meninggal. Di hari yang sama, sahabatnya sedang merayakan ulang tahun.
Sehari sebelumnya, tiga orang kenalan memasang status dan foto yang sama di BlackBerry Messenger mereka, yang menunjukkan mereka tengah berduka karena kehilangan seorang rekan kerja.
Kebetulan ada seorang sahabat saya bekerja di gedung perkantoran yang sama dengan mereka. Saya tanya, apa ada yang baru meninggal di kantor mereka?
"Iya, anak lantai bawah, meninggal karena kecelakaan. Satu lantai lagi berkabung sekarang," jawab sahabat saya.
Obrolan kami berlanjut. Sahabat saya bercerita, sedang ada perayaan di kantornya saat itu. Pikir saya, kontras sekali suasana di kedua lantai itu. Sementara satu lantai sedang berduka, lantai lainnya sedang merayakan sesuatu.
Untuk alasan yang berbeda, ada yang berduka, ada juga yang berbahagia.
Kejadian yang ini terjadi bulan lalu. Hari itu, tanggal 21 Februari, sekitar pukul 01.00 dini hari. Saya belum tidur karena masih ada tulisan yang harus saya selesaikan. Saya mendengar tetangga saya berteriak-teriak. Awalnya saya kira itu suara suami istri tetangga sedang bertengkar. Heboh amat, pikir saya. Tetapi saya dengarkan baik-baik, suara itu memanggil-manggil nama saya, meminta tolong.
Tanpa pikir panjang, saya langsung lari keluar rumah. Saya tahu pemilik suara itu. Kita sebut saja namanya Shintia.
Rupanya adik Shintia kritis. Yang saya tahu, adiknya menderita tumor paru-paru, yang baru terdeteksi beberapa bulan sebelumnya. Shintia panik. Meskipun dia tidak sendirian berada di rumah, saat itu tidak ada orang di rumahnya yang bisa mengendarai mobil untuk mengantar adiknya ke rumah sakit.
Singkat cerita, akhirnya ayah saya yang kebetulan sedang berada di rumah, mengantar sang adik ke rumah sakit terdekat. Tetapi sayang, nyawanya tak bisa diselamatkan.
Dalam kesedihannya, Shintia bercerita. Sebelum kejadian, dia sedang menemani adiknya di kamar. Kondisi sang adik memang lemah beberapa hari terakhir. Adiknya juga jarang tidur, seperti sedang memikirkan sesuatu. Jadi, Shintia selalu menemaninya, termasuk di malam itu. Dia menemani sang adik, mereka ngobrol berdua... sampai akhirnya dia sadar adiknya terdiam cukup lama. Rupanya, sang adik sudah tak sadarkan diri.
Anak itu baru berusia 23 tahun, sebulan yang lalu dia merayakan ulang tahunnya. Dia ramah, suka menyapa para tetangga. Teman-temannya mengenal dia sebagai anak yang aktif, cerdas, bersemangat, dan suka memotivasi. Tahun ini, seharusnya dia lulus kuliah. Salah satu impiannya yang belum terwujud adalah punya mobil Mazda 2.
Hidup itu tidak bisa diprediksi ya, kawan. Benar adanya bahwa maut datang seperti pencuri di malam hari.
Kematian. Sesiap apapun kita merasa sanggup menghadapinya, tak pernah cukup siap dan kuat kita menyambutnya. Rasanya seperti mimpi, bagi orang-orang yang ditinggalkan. Yang dapat menghibur mereka hanya doa dan keyakinan bahwa jiwa yang telah pergi akan kembali kepada Penciptanya, yang jauh lebih mengasihinya ketimbang siapapun di dunia ini.
Rasanya aneh memang, melihat pada saat bersamaan ada orang-orang yang berduka dan ada pula yang sedang bergembira. Ketika ada kematian, masih ada kehidupan yang harus kita rayakan.
Kematian mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki waktunya di dunia ini. Kalau kita masih bisa bernafas saat ini, artinya Tuhan masih memberikan kesempatan kita untuk menjadi lebih baik dan berguna bagi sesama. Misi kita di dunia belum selesai.
Life goes on. No matter how hard things get, it goes on. So live it well.
1 comment:
"Rasanya aneh memang, melihat pada saat bersamaan ada orang-orang yang berduka dan ada pula yang sedang bergembira", teerus: "Ketika ada kematian, masih ada kehidupan yang harus kita rayakan" berarti seharusnya gk 'aneh' dong ya... :)
Post a Comment