“Never worry about numbers. Help one person at a time and always start with the person nearest you.” — Mother Teresa
Semakin dewasa kita, semakin banyak kebutuhan yang harus kita penuhi dan akan semakin pusing kita menyusun neraca keuangan. Ih, betul banget itu. Belakangan ini, topik pembicaraan saya dengan para sahabat berputar di soal angka: investasi, tabungan, dana darurat, biaya operasional rumah tangga, cicilan-cicilan, dan yang paling bikin sesak—harga-harga kebutuhan pokok yang kian melambung.
Obrolan saya dan para sahabat terkadang dibuka dengan komentar atau pertanyaan nggak lazim. “Gue kangen jadi wartawan. Gue kangen dapet doorprise.” Atau, “Hah! Harga spicy chicken wings mahal banget ya?” Atau, “Parah nih, harga apel 2 kilo kok lebih mahal daripada beras 5 kilo, ya!” Atau, “Eh, TDL sudah naik ya? Tagihan listrik lo bulan ini lebih tinggi dari bulan lalu, nggak?”
Pusing, kan?
Upaya untuk menekan pengeluaran pun harus dilakukan. Salah satunya dengan mengurangi kunjungan ke mal—dari sebulan 4 kali di kala weekend, jadi sebulan 1 kali saja. Tentu saja itu di luar urusan meeting atau working session bareng rekan kerja.
Sebagai ganti ngemol, saya main ke “mal” model ITC. Aih!
Tapi sesungguhnya, urusan angka ini hanya bikin rusak pikiran. Bisa bikin kita lupa bersyukur.
Saya jadi menemukan hikmah dari masih rajinnya saya naik angkot.
Suatu siang di angkot 106 jurusan Parung-Lebak Bulus, saya bertemu seorang pengamen karaoke, pengamen dengan kotak musik besar dan mic untuk menyanyi. Usia pengamen ini mungkin belum tua-tua amat, tapi postur tubuhnya yang nggak proporsional dengan kaki terlalu panjang dan badan yang pendek membuatnya terlihat lunglai dan ringkih. Saya perhatikan bapak pengamen itu dengan seksama dan jatuh kasihan. Ingin rasanya memberikan sedikit uang, tapi takut dia sakit hati. Kebetulan angkot yang saya tumpangi lumayan penuh.
Kasih, nggak, kasih, nggak...
Akhirnya saya nggak tahan untuk bertanya, dan malah mewawancarai dia. Dari percakapan itu, saya baru tahu kalau dia menyewa kotak musik dan mic dari orang lain. Uang setorannya, Rp10 ribu per hari. Dalam sehari, menurutnya, penghasilannya lumayan—bisa mencapai Rp50 ribu. “Lumayan, masih bisa menghidupi hidup keluarga saya dan yang penting, halal,” ucapnya.
Tantangan yang dihadapi pengamen karaoke itu nggak cuma soal menggendong kotak musik yang berat atau menyanyi saja. Si bapak ini, contohnya, harus mencari lokasi-lokasi baru untuk ngamen.
“Saya nggak bisa ke komplek perumahan, apalagi yang ada satpamnya, karena sudah pasti bakal diusir,” kata dia. “Biasanya saya nyanyi di perumahan-perumahan kecil.”
Ooooh... Akhirnya saya nggak ragu mengulurkan tangan saya yang menggenggam sedikit uang untuk bapak itu. Tuh kan, yang memikirkan soal angka (dan menghadapi tantangan pekerjaan) itu bukan cuma kita saja.
Let's not worry about numbers. Seharusnya, selama gaya hidup kita nggak melebihi penghasilan kita, segala kekuatiran soal angka itu seharusnya nggak akan ada ya. Tapiiii, kalau kita bicara tentang merencanakan masa depan, kekuatiran soal angka itu harus ada ya. Yang penting, jangan sampai kita lupa bersyukur, dan sebisa mungkin kita sisihkan sebagian milik kita untuk saudara-saudara yang kekurangan.
Memberikan sedikit dari kekurangan kita pasti rasanya lebih memuaskan ketimbang memberikan banyak dari kelebihan kita. So, let's not TOO worry about numbers then!
No comments:
Post a Comment