Walk on, walk further. |
The walk is the destination, not Santiago. Life is the destination. Now is the destination. Live now. (www.walkingwithawareness.com)
Saya senang sekali waktu pertama kali membaca resensi buku “Startup, Indonesia!” di Kompas.com. Membacanya, duh, saya terharu. Sahabat saya, Toni, men-share resensi tersebut ke halaman Facebook-nya. Ada satu pesan yang dia tulis untuk saya, “Ultreia!”
Satu kata ini membawa saya pada kenangan 2,5 tahun silam, ketika saya, Toni, dan dua sahabat kami, Agnes dan Astrid, melakukan perjalanan ziarah menuju Santiago de Compostela. Camino de Santiago.
Ultreia! Satu kata ini menjadi penyemangat kami ketika kami harus berjalan kaki selama lima hari penuh di daratan Spanyol. Kaki kami bengkak, terkilir, memar-memar, melepuh, kulitnya mengelupas, juga berdarah karena perjalanan ini.
Di hari pertama, kaki kiri saya sudah terkilir dan bengkak. Rasanya luar biasa karena selain menempuh perjalanan jauh, kami juga harus menggendong ransel yang beratnya belasan kilogram. Hahaha, gila! Terkilir di hari pertama petualangan kami, berarti saya harus tersiksa selama perjalanan ziarah dan backpacking yang kami rancang untuk waktu nyaris satu bulan lamanya.
Pertama kali sadar bahwa kaki saya terluka, saya belum khawatir. “Tenang, begitu sampai tempat peristirahatan, bisa dioles-oles salonpas gel. Bereslah...,” pikir saya. Tetapi, menjelang sore, rasanya semakin nyeri. Ketika saya dan kawan-kawan berkeliling Melide, kota persinggahan setelah perjalanan hari pertama itu, saya harus menyeret kaki kiri saya saat berjalan.
Ini seperti tradisi. Ketika para peziarah sudah berjuang selama sehari untuk menempuh perjalanan berkilo-kilometer, mereka akan beristirahat di satu kota dan merayakannya. Kami berempat pun begitu. Setiap selesai melakukan perjalanan seharian, kami akan mampir ke pulporia (restoran yang menyediakan menu pulpo) untuk berpesta. Kami makan pulpo (octopus) dan minum red wine sepuasnya. Saya sangat menikmati saat-saat itu.
Perayaan di akhirnya perjalanan itu jadi salah satu hal yang saya bayangkan ketika merasakan kesakitan selama berjalan kaki beberapa hari berikutnya. “This too shall pass. This too shall pass,” kata saya dalam hati sambil membayangkan hal-hal yang indah.
Hari kedua, rasa sakit di kaki kiri saya makin menjadi. Tantangan hari kedua ini lebih hebat. Hujan turun cukup deras hari ini. Dengan sangat terpaksa, dengan kondisi kaki seperti ini, saya menitipkan ransel saya ke jasa backpack transfer yang disediakan oleh penginapan kami, untuk diantarkan ke penginapan kami di kota berikutnya. Yang saya bawa hanya tas kamera serta dompet, dokumen-dokumen penting, dan botol minum. Sampai hari terakhir Camino de Santiago, saya terpaksa melakukan backpack transfer ini.
Pemandangan padang rumput dan hutan-hutan pinus yang kami lalui selama peziarahan, sebelumnya hanya pernah saya lihat di kartu pos dan internet. Indah sekali.
“Hola!” Sapaan hangat dari para peziarah lain yang berpapasan dengan kami terdengar akrab di telinga. Beberapa terlihat melirik kaki saya yang pincang. Aih, padahal sebelum melakukan perjalanan ini saya sudah rajin latihan treadmill. Hahaha, seharusnya superfit kan! Untung ada kawan-kawan saya. Mereka baik sekali, mau bersabar menunggu kawannya yang lagi kesakitan.
“Ayo, Tut, semangat!”
“Pelan-pelan aja kalau sakit.”
“Ultreia!”
“Iyaaa!” jawab saya sesekali sambil stretching atau nyengir meringis menahan sakit. Ah, saya sayang sekali sama kawan-kawan saya.
Banyak sekali pikiran yang muncul di kepala saya selama perjalanan itu. Dan sekarang, setelah saya pikir-pikir, saya sangat bersyukur karena bisa merasakan kesakitan itu selama perjalanan. Hahaha, kalau kaki lecet, kulit melepuh saja kan biasa ya―kurang berkesan. Kalau terkilir parah, rasanya kan luar biasa. Haha. Bahkan ketika sampai di Jakarta lagi pun, saya masih butuh waktu beberapa minggu untuk pulih.
Pikir saya selama perjalanan, ah benar juga! Terkadang, kita memang harus merasakan sakit dulu untuk mencapai suatu tujuan. Jalannya nggak selalu mudah. Tapi yang penting, jangan pernah kehilangan harapan atau kemauan untuk mencapai tujuan. Dengan kondisi kaki seperti itu, bisa saja saya menyerah dan menghentikan perjalanan. Tapi nanti perjalanan ziarah saya ini jadi nggak sah, dong.
No pain, no glory! Atau dalam bahasa Spanyol, Sin dolor no hay gloria! Atau kata Ibu Kartini, Habis gelap, terbitlah terang. Atau kata pepatah, Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
“Ultreia” atau “Ultreya” sebenarnya bahasa Galicia. Artinya dalam bahasa Inggris adalah “walk further”, “walk higher”, “walk on”. Kata yang memberikan semangat, ya. Kata ini sering dituliskan di samping anak panah yang menunjukkan jalan menuju Santiago de Compostela yang menjadi tujuan akhir dari Camino de Santiago.
Nah, Ultreia kemudian jadi semacam motto oleh-oleh bagi diri saya dan kawan-kawan. Dan kata ini nyaris terlupakan oleh saya, sampai akhirnya Toni menulisnya lagi di wall saya. “Ultreia!”
Kembali lagi ke kutipan di atas. The walk is the destination, not Santiago. Life is the destination. Now is the destination. Live now.
Destinasi dari Camino de Santiago boleh jadi adalah Santiago de Compostela. Tetapi pada dasarnya, hidup setiap orang adalah peziarahan untuk mencapai suatu tujuan. Yang terpenting adalah perjalanannya, prosesnya dalam mencari, mencapai, dan menemukan tujuan itu. Kita hidup saat ini. Mari kita rayakan.
Live now. Walk further! Walk higher! Ultreia!
Foto: Dok. Pribadi
1 comment:
Hai mbak...
Sudah beberapa hari ini saya mencari informasi tentang rute peziarahan Santiago de compostela. Terutama dari orang indonesia yang pernah menjalaninya... akhirnya dituntun ke blog ini :).
Banyak yang ingin saya tanyakan, terutama tentang persiapan2 menjalani ziarah ini. Kami sekeluarga berniat untuk melakukan ziarah, saat anak kami yang bungsu berusia 10 tahun. Dan kami berniat berangkat dari perancis (saint pied d'port).
Apakah visa yang digunakan visa turis? karena mengingat masa berlaku hanya 30 hari, sementara ziarahnya sendiri (menurut perhitungan kami bisa 40 - 50 hari karena membawa anak2). Apa saja perlengkapan dan perbekalan yang harus dibawa dalam ziarah? apakah ada pos khusus untuk melapor/ mendapatkan tanda pengenal bahwa kami peziarah?
Kiranya mbak berkenan menjawab pertanyaan saya :). terima kasih banyak sebelumnya mbak..
ini email saya amara.dista@yahoo.co.id
dita
Post a Comment